Saksi Ahli Patologi, Beng Beng Ong, yang dihadirkan di sidang ke-18 kasus dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin atas terdakwa Jessica Wongso dideportasi ke negara asalnya, Australia. Berdasarkan laporan Liputan6.com,saksi ahli yang jadi 'serangan balik' Jessica ini dijadwalkan meninggalkan Indonesia pagi ini, Rabu (7/9).
"Yang bersangkutan akan berangkat besok pagi pukul 05.00 WIB ke Australia via Singapura," kata Kepala Kantor Imigrasi Klas I Khusus Jakarta Pusat, Tato Juliadin Hidayawan di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (6/9).
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna, Jessica Kumala Wongso dan penasehat hukumnya menyimak keterangan saksi Ahli Patologi Forensik dari Australia, Profesor Beng Ong di PN Jakpus, Senin (5/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
"Beng Beng Ong masuk ke Indonesia menggunakan bebas visa wisata. Kita ambil tindakan keimigrasian berupa deportasi plus cekal selama enam bulan," Tato memaparkan.Tato memaparkan, ahli patologi forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Quensland, Brisbane, Australia itu diduga menyalahgunakan izin tinggal keimigrasian. Ong, papar Tato, masuk ke Indonesia dengan visa kunjungan wisata.
Jessica Kumala Wongso berdiskusi dengan penasehat hukumnya ketika menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin(5/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Atas dugaan penyalahgunaan visa, Imigrasi Jakarta Pusat telah mengamankan saksi ahli patologi dalam sidang Jessica Wongso, Beng Beng Ong. Sebagaimana diwartakan Liputan6.com, pihak imigrasi awalnya menyita dokumen berupa paspor milik Beng Beng Ong pada Selasa (6/9), pukul 04.30 WIB di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta.
Usai sidang ke-19 Jessica Kumala Wongso, kasus "Kopi Sianida," nama salah satu saksi ahli kubu Jessica menjadi bahan perbincangan masyarakat. Adalah Dr Djaja Surya Atmadja SpF, PhD, S.H., DFM, saksi ahli dari pihak Jessica.
Djaja juga dijadikan perbincangan lantaran banyak orang mengira dia diragukan sebagai saksi ahli. Padahal, Djaja sebenarnya dikenal sebagai Dr Forensik DNA pertama di Indonesia. Mengenai hal ini, Humas Universitas Indonesia pun juga pernah menyimpan sebuah kliping koran yang menyatakan hal yang sama. Terlebih lagi, dalam artikel yang terbit pada 10 Agustus 2006, pun menceritakan mengenai sosok Djaja. Nama Djaja mulai jadi perbincangan masyarakat, lantaran kesaksiannya mengenai bibir dan kuku biru Wayan Mirna Salihin, yang membuat sang ayah, Edi Darmawan Salihin naik pitam. Pasalya, Djaja menyebut secara teoritis, jika seseorang terkena sianida dan keracunan, maka bibirnya seharusnya berwarna merah.Liputan6 menulis, faktanya, bibir Mirna berwarna kebiru-biruan.
Ahli patologi forensik Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica Wongso pada sidang perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Disebut, Djaja merupakan satu-satunya doktor forensik dari 80 orang ahli forensik Indonesia yang mengkhususkan diri meneliti DNA. Sementara Liputan6 menulis, Djaja merupakan ahli patologi yang mengajarkan mata kuliah toksikologi, terutama sianida, sejak tahun 1990 di Universitas Indonesia. Ia juga adalah satu dari 84 persen orang di Indonesia yang dapat mencium bau sianida dalam kadar 1 mg dan juga merupakan dokter spesialis DNA pertama di Indonesia.
Keahliannya ini juga diakui Maman Suherman, seorang wartawan senior. Maman menulis pada akun Facebooknya, bahwa Djaja kerap dilibatkan polisi untuk memastikan identitas seorang teroris melalui tes DNA. Dia juga dikenal sebagai ahli yang 'penicumannya' sangat diakui. Bersama muridnya, dr. Evi Untoro, Djaja merupakan orang Indonesia pertama yang membuat database DNA penduduk Indonesia pada 2009.
Ahli patologi forensik Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica Wongso pada sidang perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Dia meneliti database tersebut di Scientific and Technical Research Center, Ministry Justice Investigation Bureau, di Taiwan. Bukan hanya keahlian dan 'jam terbangnya,' dalam kliping Humas UI tersebut, Djaja juga disebut-sebut sebagai orang yang benar-benar ahli dan cerdas dalam bidangnya. Pasalnya, dia mengaku tak pernah membayar uang pendidikan, sejak taman SD hingga lulus program Doktor.
Seperti membaca komik dan novel-novel detektif, kegemaran Djaja mengenai forensik dan keilmuannya bermula dengan kesukaannya terhadap cerita-cerita detektif karya Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle. Hobi itu ternyata membawanya menuntut ilmu di Kobe School of Medicine, di Jepang.
Jessica Kumala Wongso tersenyum dengan Penasehat hukumnya saat sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jakarta, Rabu (7/9). Menurut Ahli Patologi Forensik RSCM, sianida ada di lambung setiap orang. (Liputan6.com/Helmi Afandi)
Kisah menarik tentang ahli forensik yang lahir pada 19 Mei 1990 ini ternyata tak melulu tentang sepak terjangnya di dunia forensik. Tapi juga masa kecilnya. Djaja ternyata datang dari keluarga miskin. Ayahnya, penjaga toko kelontong yang harus memenuhi kebutuhan 10 anaknya. Terlepas dari masa lalunya ini, kini Dr Djaja sedang dibicarakan, lantaran banyak orang berkesan kesakian Djaja diragukan pada saat hakim menguji kesaksiannya, di sidang Jessica soal kematian Mirna.
Saksi Jessica Simpulkan Mirna Meninggal Bukan karena Sianida
Dosen UI menyebutkan pada hati, empedu, dan urine setelah Mirna meninggal dunia tak ditemukan sianida.
Saksi ahli patologi forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Djaja Surya Atmadja, menyimpulkan kematian Wayan Mirna Salihin bukan karena racun sianida.
"Matinya bukan karena sianida, pak," kata Djaja saat dihadirkan sebagai saksi ahli oleh pengacara terdakwa Jessica Kumala Wongso dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini.
Awalnya, ketua tim kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan menanyakan paparan barang bukti nomor empat dalam berita acara pemeriksaan. Dia menjabarkan dari pemeriksaan 70 menit setelah Mirna meninggal tidak ditemukan sianida di cairan lambung Mirna.
Djaja menambahkan korban meninggal dunia karena sianida bila kadar yang masuk ke tubuh banyak. Takaran sianida yang bisa mengakibatkan kematian, menurut dia, sebesar 150-250 miligram.
"Seorang itu jumlahnya harus banyak, 150 miligram-250 miligram. Dan itu menguap di seluruh tubuh. Kalau tidak ada di lambung, saya simpulkan (Mirna) mati bukan karena sianida," kata dia.
Mirna meninggal dunia usai meneguk es kopi Vietnam bercampur zat sianida di kafe Olivier, Grand Indonesia Mall, Jakarta Pusat, pada Rabu (6/1/2016).
Saat peristiwa terjadi, di meja yang sama, Mirna ditemani dua kawan, Jessica dan Hanie. Mereka merupakan teman sekampus di Billy Blue College of Design, Sidney, Australia. Mereka lulus 2008.
Jessica ditangkap saat berada di Hotel Neo, Mangga Dua, Jakarta Utara, Sabtu (30/1/2016) sekitar pukul 07.45 WIB.
(Uncensored) Astaga, Begini Kondisi Jenazah Mirna Setelah Minum Kopi Bersianida
Fakta-fakta baru mengenai kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin (27 tahun) yang tewas setelah meminum Kopi Vietnamese yang dibelikan oleh teman kuliahnya, Jessica Kumala Wongso (27 tahun) kembali terkuak.
Berdasarkan penyidikan tim Pusat Laboratorium Forensik Polri, kandungan sianida dalam kopi yang diminum Mirna mampu untuk membunuh lebih dari 30 orang sekaligus secara singkat.
Ayah Mirna, Darmawan Salihin pada Selasa 9 Februari 2016 membocorkan bahwa anaknya meninggal dalam keadaan yang sangat mengerikan. Ia curiga anaknya tewas secara tak wajar setelah melihat kondisi jenazah Mirna.
“Begitu lihat mulutnya, sudah item (hitam) banget. Saya bilang ini pasti something is wrong. Mulutnya item (hitam) kok,” katanya. Darmawan pun menagaskan bahwa dirinya masih menyimpan baik-naik sampel air lambung Mirna yang digunakan oleh polisi untuk menyelidiki kasus ini. Air lambung Mirna bening.
Foto kondisi bibir dan mulut jenazah Mirna sesaat setelah dinyatakan meninggal dunia
Saat ditanyakan apakah Mirna mempunyai riwayat penyakit, Darmawan mengatakan bahwa dokter menegaskan bahwa Mirna selama ini baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Darmawan menegaskan bahwa sejak awal dirinya menyakini bahwa Jessica adalah pelakunya. Hal ini bisa dilihat dari sikap dan tingkah Jessica yang aneh setelah kejadian dimana Jessica langsung menghilang. Jessica bahkan tak pernah menghubungi keluarga Mirna untuk mengucapkan bela sungkawa seperti Hanie Juwita Boon, salah satu saksi yang juga berada di tempat kejadian saat Mirna kejang-kejang setelah meminum kopi beracun tersebut.
“Dia (Jessica) menghilang. Nggak datang ke saya, nggak ngejelasin. Hanie dateng,” kata Darmawan.
Darmawan pun menceritakan bahwa kemudian Sandy Salihin (kembaran Mirna), menelpon Jessica. “Lo gimana sih? Ini kan kita semua teman, kok kamu nggak datang. Mirna udah nggak ada loh,” kata Sandy kepada Jessica di telepon. Namun Jessica berkilah dengan mengatakan, “Soalnya gue lagi ke dokter nih. Gue juga lagi nggak enak badan,” kata Jessica saat itu.
Penyelesaian kasus ini nampaknya masih panjang karena Jessica secara meyakinkan bersikap tenang selama menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi. Tak kurang, pakar komunikasi terkemuka Dr. Lely Arrianie, mengatakan bahwa Jessica sulit untuk dideteksi bohong atau jujur karena Jessica memiliki pertahanan diri yang bagus dalam menghadapi kasusnya. Hal itu dikarenakan Jessica telah lama berada di luar negeri dan itu mempengaruhi kepribadiannya
Psikiatri forensik RSCM, Natalia Widiasih, membeberkan fakta baru dalam persidangan kasus kematian Mirna yang digelar di PN Jakarta Pusat, Kamis (18/8). Salah satunya yakni keterangan Christie selaku atasan terdakwa Jessica Kumala Wongso yang menyatakan bahwa karyawannya itu tahu dosis untuk membunuh.
“Jadi waktu itu saya ketemu Christie, Dia ini atasannya Jessica dan memang suka chat sama Jessica. Jessica pernah bilang ke dia ‘Kalau saya mau membunuh orang, saya tahu pasti caranya. Saya bisa menggunakan pistol dan saya tahu dosis yang tepat,” kata Natalia.
Menurut Natalia, berdasarkan kesaksian Christie, hal itu diungkapkan Jessica saat dirinya diamankan pihak rumah sakit di Australia. Pengamanan itu dilakukan usai sang mantan kekasih melaporkannya karena berupaya melakukan percobaan bunuh diri.
“Kami cek saat Jessica masuk RS Royal Prince Alfred (di Australia). Saat itu dia mencoba bunuh diri karena relasinya, Patrick. Nah diamankan di rumah sakit. Saat pengamanan, Jessica merasa tertekan seolah sebagai pelaku pembunuhan,” jelasnya.
Natalia melanjutkan, Jessica pun mengungkapkan hal itu kepada Christie. Christie menuturkan memang hubungannya dengan Jessica terbilang cukup dekat. Namun setelah ada masalah dengan Patrick, Jessica menjadi pribadi yang tak menyenangkan.
“Christie menceritakan Jessica adalah orang yang tertutup. Kami juga diperlihatkan hasil kerjanya oleh Christie dan hasilnya bagus. Baru ketika ada masalah dengan pacar, relasi Jessica dengan mereka mulai tidak nyaman,” paparnya.
“Saat di RS, Jessica mengatakan pada dia (Christie), para bangsat di RS ini tidak mengizinkanku pulang. Mereka memperlakukan seolah-olah saya adalah pembunuh. Kalau saya akan membunuh orang saya tahu pasti caranya. Saya menggunakan pistol dan saya tahu dosis yang tepat. Namun saat ditanya maksudnya apa, dia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut,” jelas dia.
Guru Besar Psikologi UI, Prof dr Sarlito mengatakan tindakan Jessica Kumala Wongso yang meletakkan paperbag di atas meja sehingga menghalangi kopi itu dianggap tidak lazim. Menurutnya ketidaklaziman itu perlu menjadi catatan.
"Ini kopinya sudah datang. biasanya kan kalau menunnggu baca buku, chating, tapi ini seperti memasang (paperbag) menutupi kopinya ini. Ini perilaku tidak lazim. Perilaku tidak lazim ini dalam psikologi harus mendapat perhatian khusus," kata Sarlito saat menjadi saksi ahli di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2016).
Sarlito mengatakan kesimpulan yang bisa ditarik dari tindakan Jessica meletakkan paperbag di atas meja adalah untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat orang lain. Kesimpulan tersebut tidak berbeda dengan pendapat ahli lainnya. Pendapat ahli yang menyimpulkan itu yakni psikologi dan IT.
"Kesimpulan saya dia akan melakukan sesuatu yang tidak ingin dilihat orang lain," ujar Sarlito.
Pernyataan Sarlito itu mendapat tanggapan dari pengacara Jessica, Otto Hasibuan. Otto bertanya apakah semua orang yang meletakkan sesuatu di atas meja itu bisa dituding untuk melakukan sesuatu.
"Yang saya sampaikan adalah dia meletakkan paperbag dan menaruh kopi di belakangnya, kesimpulan saya ya memang seperti itu," jawab Sarlito.
"Apakah sama setiap orang (akan dituduh begitu)," tanya Otto.
Pertanyaan Otto, menurut Sarlito itu tidak sesuai dengan pernyataannya. Otto bertanya soal semua orang bisa dicurigai bila meletakkan tas di atas meja. Sedangkan Sarlito menyatakan yang dicurigai itu adalah saat seseorang meletakkan tas atau paperbag di atas meja, namun ada benda yang ditutupinya di belakang tas tersebut.
Otto dan Sarlito tetap berdebat soal lazim tidaknya seseorang meletakkan tas di atas meja.
"Saudara mengatakan karena Jessica sengaja meletakkan papar bag di atas meja. Apa ukuran yang digunakan untuk mengatakan lazimnya?" tanya Otto.
"Namanya lazim itu kan kebiasaan, orang-orang kebiasaan seperti apa," jawab Sarlito.
"Apakah ahli melakukan percobaan?" tanya Otto lagi.
"Tidak, tapi istilah lazim itu umumnya," jawab Sarlito.
Otto mengaskan kembali kalau Sarlito adalah ahli yang diminta pendapatnya dan tetap bertanya apakah orang yang meletakkan paperbag di atas meja patut dicurigai.
"Saya bukan ahli seperti yang diharapkan Bapak. Saya nggak mau jawab. Begini Pak, saya dibilang tidak ahli nggak papa, tapi pertanyaannya (pengacara) yang tidak ahli," jawab Sarlito.
Terdakwa perkara kematian Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso meneteskan air mata saat saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke persidangan, memaparkan sejumlah temuan soal kepribadiannya ke majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Jessica yang duduk di samping tim kuasa hukumnya selama persidangan berlangsung, terlihat tak kuasa membendung air matanya, beberapa kali Jessica menghapus air mata dengan tangannya.
Lalu, saat majelis hakim memberikan kesempatan kepada Jessica untuk memberikan tanggapan atas apa yang disampaikan Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Profesor Ronny Nitibaskara. Jessica langsung menjawab dengan memberi bantahan atas semua keterangan ahli itu dengan tegas.
"Saya saat diperiksa bukan kemauan saya, banyak pendapat itu yang tidak benar," kata Jessica, Kamis 1 September 2016.
Selain itu, Jessica juga menyebut pendapat Ronny dalam persidangan banyak yang bersifat fiktif atau bohong. "Pendapatnya banyak yang tidak benar, bohong semuanya, terima kasih," kata dia.
Selama persidangan berlangsung, banyak hal yang disampaikan Profesor Ronny, termasuk adanya indikasi Jessica berbohong dan penilaian bahwa Jessica bukan seorang psikopat.
Serta tentang adanya indikasi Jessica merupakan orang yang memiliki sifat berbahaya. " Dangerous personality (pribadi yang berbahaya)," kata Ronny.